![]() |
Kebahagiaan |
- 1 Merenungkan masa lalu
Setiap orang pasti pernah mengalami trauma
selama hidupnya. Cara seseorang untuk menghadapi trauma itu bisa saja membedakan
cara orang yang bersangkutan untuk mendapatkan kebahagiaan.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam
jurnal Psychological
Science mengungkapkan bahwa selalu memikirkan kejadian di masa lalu
merupakan pemicu utama depresi klinis. Hal ini karena banyak orang menderita
apa yang disebut bias memori selektif (selective
memory bias). Studi yang dipimpin oleh pakar neurosains kognitif
Dr. Elizabeth Kensinger dari Boston College mengungkapkan bahwa orang cenderung
lebih banyak mengingat kejadian-kejadian negatif di masa lalu daripada kejadian
positif.
Semakin banyak hal buruk yang diingat maka
mereka akan semakin cenderung terlalu menekankan hal itu dan membesar-besarkan
dampaknya terhadap kehidupannya di masa kini. Masa lalu memang tak bisa diubah
namun merenungkannya memberikan perasaan ketidakberdayaan dan kepahitan yang
kuat.
2. Mengejar ketenaran atau uang
2. Mengejar ketenaran atau uang
Banyak penelitian ilmiah menunjukkan bahwa
kekayaan, barang-barang mewah dan ketenaran hanya memberikan sedikit pengaruh
terhadap kebahagiaan.
Survei yang dilakukan terhadap sejumlah
milyarder Amerika dan dipublikasikan dalam jurnal Social Indicators Research menemukan bahwa
sebagai sebuah kelompok masyarakat, mereka tak lebih bahagia dibandingkan
rata-rata kelas menengah Amerika. Hanya sedikit milyarder Amerika yang mengaku
bahagia namun tak ada yang mengatakan bahwa penyebabnya adalah uang. Lalu apa
yang membuat mereka bahagia? Rata-rata mengaku dilimpahi kehangatan dan cinta
dari pasangannya serta menemukan tujuan hidupnya.
Studi lain dari University of Rochester
menunjukkan bahwa orang-orang yang mengejar ketenaran sebagai tujuan utama
hidupnya takkan merasa bahagia dibandingkan mereka yang memiliki ambisi lebih
tinggi.
- 3. Mencemaskan masa depan
Merenungkan masa lalu memang bisa menyebabkan depresi, namun
hal ini sama halnya dengan mencemaskan masa depan. Penelitian yang dilakukan
oleh psikolog Suzanne Segerstrom dari University of Kentucky menemukan bahwa
semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang untuk memikirkan tentang
'bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi' maka mereka semakin cenderung
membayangkan sesuatu yang sebenarnya takkan terjadi. Hal ini jelas-jelas
menimbulkan emosi yang tak ada gunanya dan buang-buang waktu. Hal ini tak hanya
akan menimbulkan kecemasan namun penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Circulation ini juga
mengindikasikan risiko penyakit jantung koroner hingga memperpendek angka
kelangsungan hidup.
- 4. Terobsesi dengan penampilan fisik
Pada suatu waktu nanti, kecantikan itu akan
memudar sehingga jika Anda terobsesi dengan hal itu maka kebahagiaan Anda ikut
hilang bersamanya.Sebuah studi dalam Journal of Positive Psychology mengemukakan
bahwa seorang model yang berada di puncak kecantikannya sekalipun seringkali
merasa tak bahagia dan memiliki lebih banyak masalah psikologis dibandingkan
rekan-rekannya. Studi lain dalam Australian and New Zealand Journal of Psychiatry yang
mengamati anak-anak beusia 9-12 tahun menemukan bahwa orang-orang yang percaya
kecantikan merupakan sumber kebahagiaan lebih cenderung terkena depresi
dibandingkan orang yang tidak berpikir begitu.
Kecantikan membuat orang menjadi bergantung
pada evaluasi orang lain. Hal ini menciptakan kecemasan karena harapan terhadap
kebahagiaan akan diberikan oleh kenalan dan orang asing yang opini atau cara
berpikirnya tak bisa dikontrol oleh orang yang tergila-gila pada penampilan
fisik itu.
5.
Melakukan kebiasaan buruk secara otomatis
Kebiasaan muncul setelah dilakukan berulang
kali hingga alam bawah sadar bisa melakukannya tanpa terencana. Masalahnya,
banyak orang dengan kebiasaan buruk yang biasa dilakukan secara otomatis tanpa
menyadari bahwa kebiasaan semacam itu menjauhkannya dari pencapaian tujuan dan
kebahagiaan.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal
Scientific American mengungkapkan
bahwa banyaknya 'kegagalan untuk mendapatkan kebahagiaan' itu justru berasal
dari kebiasaan buruk, bukannya ketidakmampuan untuk mencapai kebahagiaan itu
sendiri. Kabar baiknya, sekali Anda menyadari bahwa beberapa kebiasaan
mensabotase kebahagiaan Anda, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Phillippa
Lally dan dipublikasikan dalam European
Journal Social Psychology menunjukkan bahwa Anda bisa mengubahnya
hanya dalam 18 hari.
6. Berpikir secara hitam dan putih
6. Berpikir secara hitam dan putih
Orang-orang cenderung berpikiran menyimpang
sehingga membuat sejumlah hal tampaknya lebih buruk dari kenyataannya.
Berpikir bahwa setiap masalah atau orang
hanya ada dua macam yaitu baik atau buruk atau menggunakan kata-kata seperti
tak pernah (never),
tak ada (nothing),
segalanya (everything)
atau selalu (always)
menunjukkan bahwa Anda adalah pemikir yang terpolarisasi. Penelitian yang
dipublikasikan oleh psikolog Nalini Ambady dari Stanford University telah
menunjukkan bahwa pemikiran yang terpolarisasi menciptakan sedikitnya dua
masalah serius:
Pertama, kondisi ini menjamin realitanya telah menyimpang sehingga mendorong munculnya keputusan yang buruk dan kesalahan kritis dalam menilai sesuatu. Kedua, terlalu banyak pikiran menyimpang memperbesar emosi negatif seperti depresi, kecemasan, kemarahan dan ketakutan.
7. Pesimis
Pertama, kondisi ini menjamin realitanya telah menyimpang sehingga mendorong munculnya keputusan yang buruk dan kesalahan kritis dalam menilai sesuatu. Kedua, terlalu banyak pikiran menyimpang memperbesar emosi negatif seperti depresi, kecemasan, kemarahan dan ketakutan.
7. Pesimis
Menurut penelitian, orang yang optimis
hidupnya lebih lama dan lebih sehat. Psikolog Martin Seligman dari University
of Pennsylvania telah mempublikasikan penelitian ekstensif yang menunjukkan
bahwa orang yang optimis juga lebih sukses dalam berkarir, menghasilkan lebih
banyak uang, punya lebih banyak teman serta memiliki hubungan romantis yang
lebih tahan lama dan lebih baik daripada orang yang pesimis.
Secara kritis, penelitian baru dalam jurnal
Psychological Science juga
mengemukakan bahwa orang yang positif memiliki persepsi yang akurat terhadap
realita dan menghadapi stres lebih baik daripada orang yang negatif. Ketika
hal-hal buruk terjadi pada orang yang optimis, mereka akan lebih tahan banting,
lebih cepat untuk bangkit dan cenderung memenangkan kesulitan yang dihadapinya
dibandingkan orang yang pesimis.
8. Berkutat dalam lingkungan yang negatif
8. Berkutat dalam lingkungan yang negatif
Entah itu film, musik, video game atau
tempat tinggal, lingkungan fisik bisa mempengaruhi kebahagiaan seseorang lebih
banyak dari yang mereka sadari.
Penelitian menunjukkan bahwa setiap manusia
sangat rentan dipengaruhi oleh lingkungannya sendiri. Tak adanya cahaya alami
yang masuk ke rumah, terlalu banyak kekacauan atau pencitraan yang buruk dapat
memicu kecemasan, depresi dan insomnia. Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Broadcasting and
Electronic Media and Psychological Science menunjukkan bahwa
terlalu banyak konsumsi media negatif seperti menonton film atau berita yang
menyedihkan, memainkan video game yang penuh kekerasan, mendengarkan musik yang
marah atau sedih serta membaca buku-buku yang isinya mengganggu dapat menyakiti
mood, emosi dan prospek kehidupan Anda.
9.
Berkumpul dengan orang-orang yang salah
Hampir sama dengan lingkungan fisik,
keluarga atau teman-teman yang bersifat negatif, tak bahagia atau labil dapat
menularkan karakteristiknya itu kepada Anda.
Beberapa studi yang dilakukan pakar ilmu
sosial dan dokter Nicholas Christakis dari Harvard menunjukkan bahwa pikiran
dan emosi, baik itu positif maupun negatif sangatlah menular dan bisa
ditransmisikan satu sama lain hanya dalam waktu 1 detik.
Temuan lain menyatakan, orang-orang yang
mempertahankan hubungan yang sehat akan lebih bahagia daripada mereka yang
tidak melakukannya. Jaringan sosial yang kuat merupakan alasan mengapa orang
Bangladesh, salah satu negara termiskin di dunia, dilaporkan memiliki tingkat
kebahagiaan tertinggi dibandingkan orang-orang di negara maju.
10. Egois
10. Egois
Sebuah studi menemukan bahwa memahami
perspektif orang lain, berbelas kasih dan membantu orang lain tanpa pamrih
sangat penting untuk mencapai kebahagiaan. Jika orang-orang semakin terfokus
pada dirinya sendiri maka mereka akan semakin sering merenungkan,
mengkhawatirkan dan membuat persepsi terhadap munculnya realita yang terburuk.
Studi lain yang dilakukan oleh Stephen G.
Post dari Case Western Reserve University mengungkapkan bahwa orang-orang yang
penuh perhatian dan suka membantu terlihat lebih bahagia, emosinya lebih
tangguh, lebih sedikit memiliki masalah psikologis serta mengalami peningkatan kesehatan
fisik dan angka harapan hidup. Orang-orang semacam ini juga lebih cenderung
mendapatkan promosi di tempat kerjanya, jarang stres dan tak mudah marah.
Sumber
:
http://health.detik.com/read/2012/08/08/195727/1986691/766/jangan-coba-coba-lakukan-10-hal-ini-jika-ingin-bahagia
, diakses tanggal 7 September 2012, Pukul 06.32.33 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar